Senin, 31 Maret 2014

Sejarah Pulau Nusakambangan


A.    Pendahuluan
Salah satu bentuk sastra lisan yang dikenal luas baik oleh masyarakat maupun oleh peneliti sebagai objek kajian, yang terdapat di setiap daerah di Nusantara ini adalah legenda. William Bascom (1965: 4) memasukkan legenda sebagai satu dari tiga golongan besar cerita prosa rakyat, selain mite dan dongeng. Menurutnya, legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri-ciri seperti mite, dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite yang ditokohi oleh dewa-dewa atau manusia setengah dewa, legenda ditokohi oleh manusia, walau sering pula mempunyai kekuatan luar biasa dan dibantu mahluk-mahluk gaib.

Dari ribuan legenda yang ada di Nusantara, beberapa di antaranya berasal dari daerah Cilacap. Legenda yang terkenal antara lain yang menceritakan Kembang Wijaya Kusuma dan Pulau Nusakambangan. Legenda ini hidup subur di tengah-tengah masyarakat dalam beragam versinya. Legenda ini dapat dikategorikan sebagai sastra lisan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Selain itu, legenda-legenda ini juga bersifat anonim dan menjadi milik bersama masyarakatnya (Abdullah, 1999:1).

 Seperti halnya mitos dalam pandangan Levi-Strauss, legenda juga menyimpan dasar-dasar nalar universal manusia/masyarakat pemiliknya. Legenda merupakan mitos yang diciptakan masyarakat di mana legenda itu berasal. Di dalamnya terdapat logika primitif, logika dasar, dalam bentuknya yang masih belum terkontaminasi oleh lingkungan artifisial kehidupan manusia modern (Ahimsa-Putra, 2006:75-76). Legenda ini lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur khayalan itu berasal dari apa yang ada di kehidupan sehari-hari. Dalam legenda inilah, khayalan manusia memperoleh kebebasannya yang mutlak, karena di situ tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng apa saja (Ahimsa-Putra, 2006:77).

Menurut Levi-Strauss, seperti halnya mimpi menurut pandangan Freud, mitos termasuk legenda, pada dasarnya adalah ekspresi atau perwujudan dari unconscious wishes, keinginan-keinginan yang tak disadari, yang sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuai, tidak klop, dengan kenyataan sehari-hari (Leach, 1974: 57 via Ahimsa-Putra, 2006:79). Dalam koridor konsep seperti inilah Legenda Kembang Wijayakusuma dan Nusakambangan akan diteliti. Berdasarkan pandangan Levi-Strauss ini, maka dengan mengungkap struktur yang ada di dalam legenda-legenda itu, dapat ditemukan nalar dasar masyarakat Cilacap.

Mengingat adanya berbagai versi dari kedua legenda di atas, makalah ini hanya akan mengambil beberapa versi sebagai objek, yang dianggap merepresentasikan versi  yang lainnya dan yang mampu membentuk satu keutuhan jika dikaitkan antara satu objek dengan objek yang lain. Legenda yang dijadikan objek adalah legenda yang diambil dari beberapa buku kumpulan cerita rakyat. Cerita rakyat yang dibukukan itu tetap dianggap sastra lisan sebab yang pokok adalah bentuk naratif dan yang telah diturunkan turun temurun seperti kata Stith Thompshon, bahwa cerita rakyat adalah all forms of narrative, written or oral, wich have come to be handed down through the years (Bunanta, 1998:1).

Objek makalah ini adalah legenda “Kembang Wijaya Kusuma” yang disusun oleh Daniel Agus Maryanto yang tergabung dengan cerita lain di buku Cerita Rakyat dari Laut Selatan (2006); legenda “Kembang Wijaya Kusuma” yang disusun oleh Muhamad Jaruki dan Muhamad Dasuki dalam buku Cerita Rakyat dari Banyumas (2008); dan cerita tentang “Kerajaan Nusatembini di Nusakambangan” dalam buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap yang disusun oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (2006). 

Sebelum melakukan analisis terhadap legenda-legenda di atas, perlu ditelusuri secara singkat mengenai sejarah dan latar sosiologis masyarakat Cilacap dalam subbab tersendiri sebagai berikut.

B.     Sejarah dan Latar Sosiologis Kabupaten Cilacap
Secara historis, keberadaan Kabupaten Cilacap dapat dirunut sejak kerajaan Majapahit. Pada akhir zaman Kerajaan Majapahit (1294-1478) daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit, Adipati Pasir Luhur, dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Wilayah Ki Gede Ayah dan Ki Ageng Donan di bawah kekuasaan Majapahit. Wilayah Nusakambangan di bawah kekuasaan Adipati Luhur, dan wilayah Cilacap bagian barat di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Ketika Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran jatuh ke tangan Cirebon pada 1579, bagian barat kerajaan itu diserahkan pada Cirebon. Sementara itu, bagian timur kemudian secara berturut-turut dikuasai kerajaan Islam Pajang dan Mataram Islam (Tim Penyusun Sejarah Kab. Cilacap, 2006).

Melihat sejarahnya, daerah Cilacap tidak pernah menjadi satu kesatuan tersendiri. Keberadaannya yang terletak di batas-batas kekuasaan kerajaan-kerajaan besar membuat daerah tersebut selalu terbagi-bagi menjadi milik kerajaan-kerajaan tersebut. Penguasaan banyak kerajaan yang berbeda itu menimbulkan sedikit banyak perbedaan kebudayaan dan karakteristik. Sebab, beberapa kerajaan yang pernah menguasai Cilacap ada yang bercorak hindu-budha, ada pula yang bercorak Islam. 

Cilacap baru dibentuk menjadi satu daerah dengan kepemimpinan sendiri pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1841. Cilacap menjadi salah satu afdeling dengan ibu kota Cilacap. Pembentukan afdeling ini dilakukan demi mengelola pelabuhan Cilacap sebagai salah satu pusat perekenomian kala itu (Tim Penyusun Sejarah Kab. Cilacap, 2006).

Pulau Nusakambangan merupakan bagian dari daerah Cilacap ini. Sejak zaman Belanda, pulau ini sudah menjadi tempat pembuangan dan/atau penjara bagi para tahanan. Hingga kini, pulau ini lebih dikenal dibandingkan dengan Cilacap sendiri sebagai pusat Lembaga Pemasyarakatan dengan keamanan tinggi. Selain sebagai pusat LP, pulau ini juga terkenal sebagai cagar alam (konon hanya di pulau inilah Kembang Wijaya Kusuma bisa tumbuh) dan pusat ritual kebatinan masyarakat sekitarnya.

Sebagian besar penduduk Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Dalam aspek kepercayaan, masyarakat Cilacap, mengikuti konsep Geertz, juga terbagi menjadi dua golongan, santri dan abangan. Santri digunakan untuk menyebut orang-orang yang taat beragama Islam, sementara abangan digunakan untuk menyebut masyarakat yang mengaku Islam tetapi kurang taat dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam (Geertz, 1976: 5-6). Kelompok abangan terutama tampak pada masyarakat yang mata pencahariannya nelayan. Mereka masih sangat mempercayai keberadaan Nyai Roro Kidul, kemistikan Nusakambangan dan lain-lain. Sebagai perwujudan kepercayaan itu mereka masih melakukan ritual-ritual seperti upacara sedekah laut, selamatan, pemberian sesaji. 

Penelusuran singkat terhadap sejarah, kondisi masyarakat, mata pencaharian dan kepercayaan, signifikan dalam pembahasan makalah ini. Aspek-aspek ini merupakan latar belakang masyarakat Cilacap, yang disadari atau tidak, berpengaruh terhadap berbagai pola pikir, pandangan, dan norma-norma yang mereka ciptakan. Pengetahuan tentang hal-hal tersebut akan membantu proses analisis terhadap nalar nirsadar masyarakat di balik legenda-legendanya. Jadi, pengetahuan tentang latar belakang di atas, dan relasi-relasi struktur di balik legenda-legenda mereka, akan saling melengkapi dan menguatkan simpulan-simpulan berkaitan nalar dasar masyarakat Cilacap dalam menjalankan kehidupannya.

C.    Analisis Struktural Legenda Kembang Wijayakusuma dan Nusakambangan
Levi-Strauss telah menawarkan konsep-konsep dan metode analisis struktural terhadap mitos. Menurutnya, jika mitos dianggap sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna itu tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain tetapi pada cara unsur-unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain (Ahimsa-Putra, 2006: 93). Unsur-unsur yang dikombinasikan ini dinamakan oleh Levi-Strauss sebagai miteme, yakni unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat kosokbali, relatif, dan negatif (Ahimsa-Putra, 2006: 94).

Setelah menemukan miteme, maka miteme harus disusun baik secara sinkronik ataupun diakronik, sintagmatik dan paradigmatik. Secara sederhana, analisis miteme harus dikaitkan dengan miteme yang lain, bahkan miteme dari mitos-mitos yang berbeda.

Makalah ini, akan menganalisis tiga legenda yang berkaitan satu sama lain. Dua legenda merupakan versi berbeda dari cerita tentang wijaya kusuma, sementara satu legenda tentang kerajaan Nusatembini yang terletak di Pulau Nusakambangan. Meski berbeda, tetapi ketiga legenda ini mempunyai miteme-miteme yang terkait kepada dua hal utama, kembang wijaya kusuma dan Nusakambangan. Oleh karena itu, analisis struktur miteme akan dilakukan tidak hanya untuk miteme-miteme di satu legenda, tetapi juga keterkaitannya dengan miteme di legenda yang lain. Hal ini dilakukan demi menemukan nalar masyarakat Cilacap yang lebih luas dan lengkap.

1.      Legenda Kembang Wijaya Kusuma versi Pertama
Legenda Kembang Wijaya Kusuma versi pertama ini disusun oleh Daniel Agus Maryanto. Mengikuti langkah metodologis yang dikemukakan Levi-Strauss, maka pertama-tama perlu disajikan dulu urutan cerita dalam Legenda Kembang Wijaya Kusuma ini. Cerita keseluruhan diuraikan per bagian yang mengandung satu miteme tertentu sebagai berikut.
(1)   Pada zaman dahulu, menurut legenda, ada setangkai kembang, atau bunga yang tidak pernah layu sepanjang musim.Bunga langka itu, konon, tidak hanya berkhasiat menyembuhkan aneka penyakit, tetapi juga menghidupkan orang mati. Orang-orang terdahulu percaya, asal muasal bunga ajaib itu dari benang sari Bunga Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu di kayangan, yang jatuh dan tumbuh di dunia. Bunga dewata inilah yang kemudian dicari orang untuk dijadikan jimat agar pemiliknya hidup abadi di dunia.
(2)   Pada suatu ketika, ada seorang raja dari Tanah Jawa yang bermimpi menemukan bunga Wijaya Kusuma tumbuh di sebuah pulau karang di laut selatan. “Aku bermimpi! Aku tak bisa mati!” teriak raja dalam tidurnya. “Ada apa, Kanda? Siapa yang tak bisa mati?” tanya permaisuri yang terbangun karena teriakan suaminya. “Ah, Dinda. Kita akan hidup selamanya. Aku tahu di mana tempat Kembang Wijaya Kusuma berada,” jawab baginda yang kemudian menceritakan perihal mimpinya.
(3)   Keesokan harinya, baginda segera memanggil semua punggawa kepercayaannya. Mereka diperintahkan memetik Bunga Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang Badong. “Tetapi Baginda, bunga itu tidak bisa dipetik pada sembarang waktu,” kata penasihat istana. “Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?” tanya raja tidak senang. “Maksudnya bunga itu hanya bisa dipetik ketika cuaca di langir sedang cerah dan Laut Selatan sedang tenang…” “Ah, kamu sungguh bodoh, kalau aku menunggu saranmu, bunga itu sudah diambil orang!” kata raja tak dapat dibantah lagi.
(4)   Akhirnya, tanpa mampu menolak perintah raja, serombongan punggawa kerajaan berangkat meninggalkan istana menuju Laut Selatan. Sebenarnya, mereka pergi dengan dibayangi rasa waswas dan ketakutan. Petugas istana pernah menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar pantangan akan mendapat malapetaka, bukan panjang umur.
(5)   Sampai di pantai Laut Selatan, perasaan mereka bertambah kecut. Ketika itu, ombak pantai Laut Selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang ada di tengah samudera kadang tampak dan kadang lenyap terhalang gelombang. Suasana yang demikian memang bukan saat yang tepat memenuhi perintah raja.
(6)   Di tengah rasa bingungdan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan duduk merenung sambil memandangi laut yang bergelora. Para punggawa kerajaan itu segera menghampirinya. “Kenapa engkau duduk melamun seorang diri di sini? Mana nelayan yang lain?” tanya para punggawa utusan raja itu. “Oh, maafkan hamba, Gusti. Hamba hanya sedang merenungi nasib,” jawab nelayan itu terbata-bata dan tidak mengingat pertanyaan para utusan raja itu. “Merenungi nasib? Memangnya kenapa dengan nasibmu?” desak para punggawa raja. “Hamba benar-benar menjadi nelayan yang tak berguna, Gusti. Hamba seorang nelayan, tetapi tidak memiliki perahu,” ujar nelayan itu mengiba.
(7)   Mendengar jawaban nelayan itu, para utusan raja berseri-seri wajahnya. mereka menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya. “Baik, aku akan mengubah nasibmu,” kata para utusan raja itu bersungguh-sungguh. “Mengubah nasib hamba, Gusti?” “Benar. Jangankan perahu, lebih dari itu kamu akan memilikinya. Asalkan…” “Asalkan apa, Gusti. Katakanlah…,” sahut nelayan itu tak sabar. “Asalkan kamu bisa mengambil Kembang Wijaya Kusuma…,” “Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong itu, Gusti?” tegas nelayan itu. “Benar, apakah kamu tahu?” “Hamba tahu gusti, tetapi sangat berbahaya sekarang ini untuk pergi ke sana,” jawab nelayan itu.
(8)   Namun, pada akhirnya, nelayan itu pergi juga karena tergiur banyaknya hadian yang akan diterima. Dengan meminjam perahu milik saudaranya, nelayan itu nekat menempuh ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang Badong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma.
(9)   Nelayan itu harus benar-benar mengerahkan segenap keberanian dan keterampilannya agar bisa sampai ke Pulau Karang Badong. Begitu sampai, nelayan itu cepat-cepat mendaki tebing tinggi untuk segera bisa memetik bunga langka itu.
(10)    Akan tetapi, begitu dia berhasil memetiknya, tiba-tiba saja di sekelilingnya sudah berdiri wajah-wajah menyeramkan. Wajah-wajah setan juga ingin memiliki bunga dewata agar bisa hidup selamanya.“Ha…apakah kamu sudah bosan hidup berani memetik bunga itu! Ayo serahkan bunga itu?” teriak setan-setan berwajah seram itu. “Tidak, bunga ini untuk raja,” kata nelayan itu sambil berlari menerobos kepungan setan-setan itu dengan senjata parangnya.
(11)    Nelayan itu terus berlari menuju perahunya. Namun, betapa kecewanya ketika ia melihat perahunya sudah berkeping-keping dihantam ombak di antara baru karang. Tubuh nelayan itu langsung menggigil ketakutan membayangkan nasibnya, mati ditelan ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh oleh setan penunggu Pulau Karang Badong.
(12)    Akhirnya, ketika para setan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu tidak punya pilihan lagi. “Oh Dewa, tolonglah hambamu ini!” teriak nelayan itu dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang bergulung-gulung. Tubuh nelayan itu timbul tenggelam dalam gulungan ombak. Namun jiwa nelayannya menjadikan dia tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasal dari pecahan perahu miliknya.
(13)    Nasib baik masih bersama nelayan itu. dengan memeluk erat-erat pecahan papan, tubuh nelayan itu ditemukan oleh para punggawa dalam keadaan sekarat pada keesokan harinya. Namun, para utusan raja itu ternyata tidak bertanggung jawab. Mengetahui keadaan nelayan yang sekarat, para utusan raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya Kusuma, sementara tubuh nelayan yang malang itu dibiarkan begitu saja.
(14)    Namun, pada akhirnya, raja dan punggawa yang telah berani melanggar pantangan itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati tanpa diketahui sebabnya yang pasti. Sementara itu, raja sendiri menjadi gila dan meninggalkan istana.
(15)    Nelayan yang semula begitu mengutuk para utusan raja yang telah membohonginya, akhirnya masih dapat bersyukur. Dia bersyukur meskipun tidak mendapatkan perahu. Jiwanya masih selamat.
(16)    Lalu, bagaimana nasib Kembang Wijaya Kusuma itu? Bunga itu menghilang secara gaib, kembali kepada para dewa.

Demikianlah cerita tentang Kembang Wijaya Kusuma versi pertama. Dari urutan cerita di atas, dapat ditemukan beberapa episode. Di setiap episode, terdapat relasi-relasi miteme yang membentuk struktur tersendiri. Struktur tersebut dikatakan sebagai struktur permukaan (surface structure), yakni relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Setelah menyusun struktur permukaan, maka di setiap episode juga akan tercermin struktur dalamnya, yakni susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris fenomena yang kita pelajari (Ahimsa-Putra, 2006: 61). Dalam upaya mengintepretasi struktur dalam (batin) inilah, faktor eksternal berupa latar belakang sosial budaya masyarakat pencipta legenda, dalam hal ini masyarakat cilacap, menjadi penting untuk diketahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar